Senin, 16 Juni 2014

HUKUM KREDIT PERHIASAN EMAS/EMAS BATANGAN

APAKAH DIHARAMKAN MELAKUKAN KREDIT EMAS BATANGAN? Memang hal ini menjadi permasalah yang banyak menimbulkan kontroversi. Karena sebagian ulama mengatakan bahwa Kredit Emas batangan hukumnya haram, tapi pada kenyataannya masih ada bank-bank Islam yang mengkreditkan emas batangan.
      Pertama-tama, perlu dijelaskan terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan kredit perhiasan emas/emas batangan. Apakah yang dimaksud itu adalah membeli perhiasan emas/emas batangan dengan metode pembayaran secara mencicil, ataukah meminjamkan perhiasan emas/emas batangan?

     Yang pertama, berdasarkan fatwa MUI mengenai hal murabahan emas hukumnya diperbolehkan, seperti halnya jual-beli barang. Akan tetapi fatwa ini memang menimbulkan kontroversi. Gambaran yang bisa dicontohkan berdasarkan fatwa ini adalah emas yang fungsinya sebagai komoditi, sama seperti barang lain. Misalnya, kita membeli 1 set peralatan masak seharga 2 juta rupiah, metode pembayarannya ialah dengan mencicil 200 ribu rupiah sebanyak 10 kali. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi. Pertama, penjual dan pembelinya jelas. Kedua, barangnya ada. Ketiga, harga 2 juta rupiah tidak boleh berubah, karena kesepakatan di awal bahwa harganya adalah 2 juta rupiah. Masalah keterlambatan pembayaran atau belum sanggup bayar 200 ribu rupiah per cicilan dapat diselesaikan dengan mengulur waktu pembayarannya atau cicilan diringankan, misalnya menjadi 100 ribu rupiah per pembayaran cicilan tanpa mengubah harga. Dengan kata lain, total cicilannya harus tetap 2 juta rupiah, kecuali jika pemberi pinjaman menyedekahkannya.

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh hingga ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 280)

Berkaitan dengan emas yang harganya cenderung berubah (dikonversi dengan mata uang rupiah), tetap saja harga yang dibayar oleh si pembeli atau yang mencicil diharuskan sesuai dengan harga yang sudah disepakati di akad. Sama halnya seperti jual-beli barang jenis lain. Dalam hal ini, mata uang yang digunakan adalah rupiah (dan mata uang sejenisnya) untuk membeli perhiasan emas/emas batangan.

Fatwa ini menjadi kontroversial karena berdasarkan pendapat lain yang menyatakan bahwa emas secara substantif diterima sebagai alat tukar di seluruh dunia. Emas dianggap bisa selalu difungsikan sebagai alat tukar pembayaran. Tapi, barang apapun kalau diterima sebagai alat tukar, jadilah ia alat tukar. Inilah yang dimaksud dengan pendekatan legalitas. Contoh, jika kita berada di luar negeri, atau kehabisan uang maka bias jadi barang yang ining kita beli ditukar dengan barang yang kita miliki saat itu, misalnya membeli pakaian ditukardengan jam tangan, jika penjual pakaian menerimanya. Hal inilah yang kita kenal dengan barter.


Pendapat ini berkaitan pada hukum emas yang tidak boleh diperjualbelikan secara tangguh. Pertama adalah emas yang dijadikan mata uang, karena fungsi mata uang ialah sebagai alat/media transaksi saja. Jika mata uang yang terbuat dari emas diperjualbelikan maka fungsinya sebagai mata uang hilang, menjadi sebuah komoditi, dan perbedaan harganya menjadi riba. Misalnya 1 dinar dibelidengan 2 dinar maka hal ini termasuk riba karena dinar terbuat dari emas dan jika ditukar harus dengan nilai emas yang sama. Ada juga pendapat lain yang menyatakanakan berbeda jika terkait perhiasan emas, karena perhiasan emas sudah ditambahkan nilai di dalamnya, jadi bentuknya sudah berbeda dengan emas yang hanya sebuah batangan atau koin sehingga bisa saja mengkreditkan perhiasan emas.

“jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar perak, bur (gandum) ditukar bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar sya’ir, kurma ditukar kurma, dan garam ditukar garam maka jumlah (takaran/timbangan) harus sama dan dibayar tunai. Berangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

     Yang kedua, jual-beli emas yang diharamkan ialah dalam barter emas. Contoh, emas yang ditukar dengan emas juga, tapi nilainya berbeda dan tidak dipertukarkannya dengan tunai. Misalnya, 25 karat emas seberat 10 gr, ditukar dengan 22 karat seberat 10 gr, walaupun sama-sama 10 gr, namun jenis emasnya berbeda, tidak senilai, maka pertukaran ini juga termasuk riba.

Contoh lainnya, walaupun 2 emas sama-sama berkadar 25 karat seberat 10 gr ingin dipertukarkan, namun emas yang satu baru akan diberikan keesokan harinya, maka ini pun termasuk riba. Dikategorikan riba karena adanya penundaan waktu atas barter barang ribawi. Yang dimaksud barang ribawi ialahseperti yang tertera dalam hadits di atas.


Wallahua’lam bishshawab. Semoga bermanfaat. :)

0 komentar:

Posting Komentar